Seperti Anda yang tengah membaca tulisan ini, aku juga tidak akan lupa tanggalnya, kapan ibu berpulang.
Ibu telah melahirkan kita ke dunia. Dan sejak saat itu ibu selalu berjuang untuk kehidupan dan kebahagiaan anak-anaknya. Apalagi aku juga seorang ibu dari tiga anak perempuan. Aku seakan paham jasa-jasa ibu.
Maka insya Allah aku tidak lupa memanjatkan doa untuk ibu. Sehabis sholat, maupun di waktu aku teringat dan terkenang akan ibu.
Aku tidak tahu, apakah ini arti kehilangan, atau kesedihan, atau bakti yang terakhir.
Tapi begitulah. Aku sulit membuang bayang-bayang dan kenangan tentang ibu. Gambar-gambar ibu terbang menari-nari di pelupuk mata, melayangkan khayalan ke masa lalu.
"Jangan terbawa jalan-jalan setan..." pesan adik laki-lakiku.
Rasa kehilangan orang yang kita cintai, seringkali dianggap wajar, dan membuat kita larut. Menangis, meratap, meraung, semata-sema karena tidak rela dan sedih secara mendalam. Tapi aku tidak menangis, tidak bisa menangis, bahkan saat ibu diturunkan ke liang lahat.
Perasaanku lebih kepada tak percaya. Di menit-menit terakhir sebelum ajalnya, aku masih menyuapi ibu, masih membantunya minum, dan ibu masih mengedipkan mata. Aku tak habis pikir, mengapa kemudian ibu pergi??
Sudah sampai waktunya..." kata suami menghibur.
Dan waktu pun berlalu. Hari menjadi minggu, minggu berganti bulan, dan kini sudah bulan keenam. Tak terasa sudah cukup lama ibu berpulang.
Sudah sekian waktu di sini tak turun hujan. Aku berziarah di hari jumat seperti biasa. Terlihat kubur ibu begitu kering dilanda musim panas.
Aku mulai berpikir, apa sebabnya Allah memanggil ibu secepat ini? Pasti ada hikmah di balik ini semua.
Aku ingat tiga minggu pertama bulan Januari, ibu masih tampak kuat dan bisa banyak bercerita. Suaranya pun masih nyaring memanggilku dengan tak sabar.
Di minggu keempat, ibu mulai diare dan ketahanannya mulai terpengaruh.
Di bulan Pebruari, gerakan ibu mulai terbatas. Suaranya melemah, dan aku merasa tak tega melihatnya.
Apa yang ibu minta saat itu, apapun yang ibu inginkan, aku segera mengabulkan. Tapi juga bukan sesuatu yang muluk, dan bukan suatu yang susah kupenuhi.
Aku menjadi lebih dekat lagi dengan ibu, bahkan tidur bersama ibu bersama ketiga anakku. Aku tak menyangka itu semua menjadi kenangan yang terakhir.
Ironi memang.
Bahkan saat ibu banyak mengobrol denganku di rumah sakit, aku juga tak penyadari itu adalah pesan terakhir ibu yang akan segera pergi untuk selamanya. Pesan demi pesan yang sebenarnya meluncur dari ketidakberdayaan ibu.
Walau ibu masih ingin mendapatkan karunia kesembuhan dari penyakitnya, ternyata Allah tidak mengabulkan. Sungguh Allah mahamengetahui yang terbaik untuk hambaNya...
Kini setelah enam bulan berlalu, pesan atau wasiat ibu sudah terlaksana satu per satu.
Kini setelah enam bulan berlalu, pesan atau wasiat ibu sudah terlaksana satu per satu.
Aku tetap merasa kehilangan ibu. Ibu berpulang dalam usia yang relatif cepat. Ibu baru lagi berusia 58 tahun. Sementara tetangga-tetangga di sekitar rumah ada yang berusia di atas 60 tahun, bahkan 70 tahun. Tapi kenapa ibu kami sudah dipanggil Allah swt? Ibu masih ingin sembuh dari sakitnya. Ibu rindu ingin mengerjakan ibadah sholat setelah 2 bulan ini hanya bisa terbaring sakit😪
Alhamdulillah ibu tak terdengar mengeluh tentang sakitnya. Ibu juga tak mengeluh mengapa ia terpilih dalam ujian kesabaran ini. Sekalipun (aku tau) sakitnya sungguh tak tertahankan. Transfusi 22 kantong darah, 14 kali kemoterapi, dan berpuluh bekas jarum infus, astagfirullahal adziim...
Tak kusia-siakan pengalaman almarhumah yang begitu luar biasa. Aku harus sadar: hidup di dunia bukanlah tujuan.
Apa yang dimiliki ibu, atau dibanggakannya di dunia, tidak lantas dibawanya serta. Justru ditinggalkannya.
Beruntung ibu "puas" mengerjakan ibadahnya. Maksudku, ibu belum terlambat saat itu.
Ibu tidak menunggu tua, untuk beribadah. Baik sholatnya, puasanya, hajinya.
Ibu juga "puas" menghadiahi cucu-cucunya, anak-anakku, gaun-gaun yang cantik-cantik sebagai tanda sayangnya.
Foto: dokpri |
Masih lekat dalam ingatanku di hari ibu berpulang. Saat itu cuaca berubah sejuk, padahal tadinya aku sempat berjalan kaki di bawah terik matahari. Saat itu para pelayat berdatangan tak henti. Rumah ibu yang mungil, halaman, jalanan, bahkan di halaman tetangga, benar-benar penuh dengan pelayat. Alhamdulillah...
Tadinya, cuaca bahkan sempat diwarnai guntur satu kali. Aku terkesiap. Bagaimana seandainya turun hujan saat ibu akan diturunkan ke liang lahat?
"Ya Allah... jangan biarkan kubur ibu kehujanan..." doaku.
Angin pun bertiup sepoi-sepoi. Cuaca berubah sejuk. Tak terasa aku mencium sayang jenazah ibu. Haru saat ikut memandikan jenazah ibu yang begitu bersih. Sekali lagi alhamdulillah...segala puji hanya kepadamu ya Allah...
Dan entah kesadaranku sedang terguncang atau apapun namanya.
Aku seakan linglung dan tak terhubung dengan situasi saat itu. Saat ibu dikafani dengan kain putih bersih. Ini adalah kali pertama aku menyaksikan hal seperti tersebut.
Saat ibu sakit dan semakin tak berdaya, aku tak berpikir apapun. Aku sama sekali tak berpikir kematian akan membawa ibu. Aku juga tak berpikir bahwa ibu tak akan sembuh dari stadium empat yang menyakitinya. Aku hanya berpikir satu hal: ibu begitu sakit, padahal dulu ibu begitu sehat, begitu kuat. Ya Allah... Engkau telah mengambil nikmat yang dulu Engkau berikan pada ibu😪
Ibu selesai dikafani.
Kucium tangan ibu, kaki ibu, wajah ibu dalam balutan kafan putih. Masih kubisikkan kata-kata seperti saat ibu sakit dan aku menyuapinya di rumah sakit. "Sabar ya Bu..."
Mertua dari adikku menegurku: "bukan lagi sabar, ibumu sudah meninggal..."
Mungkin ibu sudah tak bisa bicara, sudah tak bisa melihat, tapi kutahan tangisku. Mungkin ibu masih bisa mendengar. Aku takut ibu berat melangkah karena ditangisi.
Kutatap wajah ibu terakhir kali, sebelum dinaikkan ke atas tandu. Wajah ibu begitu tenang, seperti sedang tidur.
Kini... ibu sudah berpulang. Orang-orang yang melayat pun kini hanya suatu memori di kepalaku. Orang-orang yang mengaku pernah menerima kebaikan ibu, aku pun sudah tak ingat siapa saja mereka. Tapi satu hal yang masih kujaga, sholatku. Harus keperbaiki sedemikian rupa, agar Allah kelak memanggilku juga dalam khusnul khotimah.
Kini... ibu sudah berpulang. Orang-orang yang melayat pun kini hanya suatu memori di kepalaku. Orang-orang yang mengaku pernah menerima kebaikan ibu, aku pun sudah tak ingat siapa saja mereka. Tapi satu hal yang masih kujaga, sholatku. Harus keperbaiki sedemikian rupa, agar Allah kelak memanggilku juga dalam khusnul khotimah.
Aku takut Allah akan memberikan azab di dalam kubur. Aku takut panasnya api neraka di akhirat. Aku harus bisa menyenangkan hati orang-orang, seperti yang dilakukan ibu.
Aku ingat di saat sakitnya ada begitu banyak tamu memberikan perhatian dan doa. Dan alhamdulillah sakit ibu tak sampai menahun. Tak sampai melecetkan kulit punggungnya. Sekalipun dua bulan lamanya ibu terbaring tanpa bisa bangun😪
Astagfirullahal adziim... Astagfirullahal adziim...
Astagfirullahal adziim... Astagfirullahal adziim...
Terimalah taubat kami ya Allah, amin...
#mengenang ibu kami yang baik
Tentu , kehilangan seorang ibu amat sakit, tapi sepertinya ibu anda bahagia punya anak we Sholeh anda yang selalu mendoakan beliau .
BalasHapusAmin ya Rabbal alamin...
Hapusterima kasih banyak...
Semoga kita dapat menjadi anak yang beebakti kepada kedua orang tua.
Perasaan yg sama untuk memua orng yg ibundanya telah menghadap Robb.. nya..
BalasHapusSaya pun merasakan hal yg persis sama karena baru sekitar 15 hari tepatnya tgl 24 sep. 2020 ibu menghadap sang Khaliq.. tepat sehari setelah usiaku genap 40 thn.. semoga Allah menempatkan semua ibu yang telah mengandung, melahirkan, membesarkan anak2 nya dengan kasih sayang dan selalu tidak putus2 nya mengigatkan kita kepada sang pencipta Allah SWT..
Seorang ibu diam-diam berdoa agar bisa kembali saat anak-anaknya sudah dewasa. Seorang ibu tidak tega meninggalkan anak-anaknya yg masih kecil.
HapusSemoga ibu kita diterima di syurga Darussalam...