script type= "text/javasript">if Luka Hati. Langsung ke konten utama

Luka Hati.

Menikmati pagi itu adalah soal jiwa, soal batin. Dan mungkin orang tidak bisa melakukannya setiap hari. Karena setelah bangun tidur, Anda akan buru-buru mempersiapkan diri berangkat ke tempat kerja. Bahkan sarapan  yang katanya harus pun, seringkali Anda beralasan tidak sempat. Karena tempat kerja jauh, atau karena akan menemui macet.

Suatu hari di jalan...

Aku nelangsa, dan mungkin sedikit nyinyir. 

Waktu itu aku sedang menaiki motor, bertemu dengan sepasang suami istri yang berseragam kantor daerah. Bukan bertemu. Tepatnya motor mereka berjalan di depanku. Saat itu masih pagi benar. Sekitar jam enam pagi. Sementara jam kantor di sini dimulai setengah delapan, kalau tidak salah.

Seperti yang kukatakan tadi. Aku nyinyir. Sesuatu bergelayut di hatiku. Seakan menyalahkan mereka. Suami istri sepagi ini sudah keluar rumah untuk bekerja. Jam berapa mereka bangun dan mandi? Mungkin saja saat azan subuh. Tapi mandi pada jam lima, aku tidak bisa membayangkan. Udara di sini hanya 23 derajad. Apalagi saat musim hujan, cuaca benar-benar tak bersahabat.

Astagfirullahal adzim

Bukankah mereka melakukan ini semua untuk mencari nafkah? Mungkin untuk anak-anak mereka, atau untuk orang tua mereka. Karena tidak jarang yang namanya orang tua, sudah tidak berdaya di usia senjanya, dan anak-anak berkewajiban menafkahi mereka lillaahi ta' ala.

Aku terus menjalankan motorku pelan di belakang mereka. Sudah ada setan dalam hatiku. Berbisik dan mengajarkan hal-hal yang bodoh. Berusaha menjerumuskan aku dalam prasangka. Astagfirullahal adziim...

Mungkin aku iri. Karena aku tak mempunyai pekerjaan seperti mereka. Aku hanyalah ibu rumah tangga biasa. Dan aku mulai jenuh dengan rutinitasku. Apalagi saat aku merasa tak dihargai, walaupun anak-anakku tumbuh sehat dan cerdas. Mereka jarang sakit, mereka tidak sulit diatur, bahkan juara di kelasnya masing-masing.

Nah nah nah... Ini tipu daya setan lagi. Bukankah aku hanya manusia lemah, dan apapun yang bisa kulakukan semata-mata atas izin Allah. Aku bisa begini dan begitu, karena Allah yang memberi jalan, dan Allah yang memberi kemudahan. Astagfirullahal adziim ya Rabb...

Memang akhir-akhir ini batinku bermasalah. Mungkin ini adalah gejala penyakit hati. Aku mulai bosan bangun pagi lalu memasak dan mencuci. Tepatnya sudah tiga belas tahun sejak aku mendapatkan pendamping hidup. Mungkin Anda juga pernah berada dalam posisi sepertiku. 

Dan akupun melayangkan protes. Aku tegas-tegas meminta suamiku tak menuntutku menyiapkan bekal makan siang untuk dibawanya kerja. Beli saja di warung-warung dengan lauk ayam. Itu lebih manusiawi. Dengan uang lima belas ribu, aku tak susah-susah dan tak terburu-buru. Suami pun bisa makan enak. Berbeda dengan isi bekal seadanya yang biasa kusiapkan.

Mungkin suami merasa setengah hati dengan keputusan sepihak kali ini. Aku tak perduli. 

Tiba-tiba aku merasa merdeka. Merasa lepas dari beban yang setiap pagi melarangku melakukan hal-hal lain selain memasak. 

Akhirnya aku bisa keluar dari dapur kesayangan. Aku berjemur diri bersama kucing-kucing peliharaan. Melihat-lihat tanaman kencur yang mulai tumbuh. Daun akasia berserakan menunggu disapu. Bunga putih mekar seiring munculnya matahari pagi. 

Aku sangat merasa nikmat. Kulitku yang dingin seketika terasa hangat dan nyaman. Semakin lama semakin luar biasa. 

Bodohnya. 

Aku melewatkan hal-hal seperti ini hanya demi memasak dan menghemat budget. Mengikuti keinginan suami. Tapi lihatlah setelah sekian lama, batinku luka. 

Aku merasa tidak adil. Setiap bangun tidur, satu saja yang harus kulakukan. MEMASAK. 

Kemudian setelah suamiku berangkat kerja, aku harus mencuci. Belum lagi menyiapkan makan siang untuk anak-anak, karena menu yang kubuat pagi-pagi pastinya menu untuk suami, pedas das das!

Aku ingin pagi-pagi bisa nonton tv, atau menulis, atau sekedar membalas pesan whatsapp. Pokoknya jangan memasak. 

Selama ini aku terikat dengan satu menu untuk suami yang itu-itu saja. Aku pun tak bisa menjadikannya menu sarapanku. Aku kesal. Aku ingin duduk manis minum teh sambil menikmati pisang goreng, tapi tak bisa. 

Setiap hari aku harus mengantar suami ke tempat kerja, lalu pulang lagi dengan membawa motor kami satu-satunya untuk kupakai mengantar anak-anak sekolah. Siangnya aku menjemput mereka lagi, sorenya aku menjemput suami dari tempatnya bekerja. Antar jemput seperti ini sudah berlangsung lima tahun. Wajar kalau sekarang aku merasa bosan. Belum lagi aku merasa bersalah karena jadi sering meninggalkan si kecil yang baru tiga tahun. Penyakit hati yang sekarang menghinggapiku, ibarat bom waktu yang siap meledak. Tapi benarkah seperti itu, atau sekali lagi ini hanyalah tipu daya setan?

Kira-kira ini yang membuatku nyinyir kepada suami istri bekerja tadi. 

Aku membayangkan alangkah membosankan menjadi mereka. Berjuang sepagi ini. Terkadang harus memakai jas hujan dan melewati banjir sebelum akhirnya sampai di tempat bekerja. Tidakkah akan menyenangkan kalau udara 23 derajad ini dinikmati di rumah saja sambil menunggu sinar matahari nan hangat? Sambil mencium wangi bunga, menikmati mereka bermekaran warna-warni. Teringat akan Allah yang sudah memberikan nikmat yang begitu banyak. Membiarkan kita terlelap semalaman, lalu membangunkan kita lagi. Semua begitu sempurna. Secangkir teh manis, nasi goreng dengan telur ceplok dan kerupuk, sambil nonton berita tv. Ya kan?

Nun di belahan dunia lain, kadang bencana terjadi. Gempa bumi, sunami, ledakan bom, kebakaran dan lain-lain yang membuat orang-orang di sana bangun pagi dengan ngenes. Wilayah mereka hancur, rumah mereka hancur, hidup mereka apalagi. Tidak adil kalau kita di sini, bangun pagi hanya untuk sibuk-sibuk dan bekerja. Bekerja dan bekerja. Iya kalau sempat sholat subuh dan mengaji dulu.

Aku mencoba berpikir lagi, dengan jernih. 

Untuk apa sih aku iri? 

Berjuta orang memang pergi bekerja setiap hari kecuali hari libur. Setelah sebulan mereka akan menerima gaji. Dengan gaji itu mereka bukan hanya bisa bertahan hidup. Lebih dari itu mereka bisa meraih masa depan. Membangun rumah, membiayai anak-anak kuliah, pergi umroh, entah apa lagi. Lalu aku apa?

Sebagai istri aku dapat apa, sebagai ibu aku bisa apa? 

Memang aku tak sendiri. Banyak sekali perempuan-perempuan yang hanya bisa jadi ibu, tak berkesempatan mempunyai pekerjaan dan karir. 

Pasti saat ini batinku sedang bermasalah. Kemarin dan dulu aku baik-baik saja. Aku melewati semuanya dengan baik-baik saja. Sampai aku melahirkan tiga anak dan telaten mengurus detail mereka. Menyusui, mengganti popok, membuat bubur saring, membantu mereka belajar, mengajarkan mereka nilai-nilai positip, sampai sejauh ini.

Sekarang aku butuh menikmati pagi tanpa terikat dengan dapur kesayangan. Aku butuh menikmati matahari pagi yang keluar dari celah hutan. Kulitku yang dingin akan merasakan sensasi hangat dan nyaman. 

Aku tau kesibukanku tak bisa kuhindari. Setidak-tidaknya sekarang aku ingin begini. Aku ingin memiliki diriku lagi. Aku ingin berleha-leha sesuka hati. Sampai aku siap kembali menjadi istri dan ibu yang sibuk. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asam-asam Peda (kuliner suku Banjar)

Ikan asin peda (foto: dokpri) Dari judulnya, aku sedang tertarik membahas satu masakan istimewa suku Banjar.  Aku sendiri bisa dibilang penikmat Asam-asam Peda.  Peda adalah nama jenis ikan asin yang banyak dijumpai di Banjarmasin dan Samarinda. Dua kota ini tak terlalu berdekatan jaraknya. Beda propinsi, malah. Tetapi banyak dari penduduk asli Banjarmasin dan sekitarnya yang merantau sampai ke kota Samarinda.  Samarinda sendiri mempunyai suku asli Kutai dan Dayak. Namun oleh beberapa faktor, kota ini sudah memikat orang-orang dari berbagai penjuru untuk datang dan menetap. Jadilah suku aslinya tak terlalu tampak. Alias kalah jumlah. Itu tadi sekilas tentang orang Banjar yang merantau sampai ke Samarinda. Nah, sudah kebiasaan perantau bila harus kangen masakan dari kampung halamannya. Terutama saat rindu pulang tapi tak pulang-pulang. Dari sekian banyak kuliner suku Banjar, yang mudah dieksekusi para "perindu" salah satunya adalah si ikan Peda. Ikan Peda adalah ikan asin ...

Ibu telah Berpulang

Foto: dokpri S eperti Anda yang tengah membaca tulisan ini, aku juga tidak akan lupa tanggalnya, kapan ibu berpulang .  Ibu telah melahirkan kita ke dunia. Dan sejak saat itu ibu selalu berjuang untuk kehidupan dan kebahagiaan anak-anaknya. Apalagi aku juga seorang ibu dari tiga anak perempuan. Aku seakan paham jasa-jasa ibu. Maka insya Allah aku tidak lupa memanjatkan doa untuk ibu. Sehabis sholat, maupun di waktu aku teringat dan terkenang akan ibu.  Aku tidak tahu, apakah ini arti kehilangan , atau kesedihan , atau bakti yang terakhir . Tapi begitulah. Aku sulit membuang bayang-bayang dan kenangan tentang ibu. Gambar-gambar ibu terbang menari-nari di pelupuk mata, melayangkan khayalan ke masa lalu. "Jangan terbawa jalan-jalan setan..." pesan adik laki-lakiku. Rasa kehilangan orang yang kita cintai, seringkali dianggap wajar, dan membuat kita larut. Menangis, meratap, meraung, semata-sema karena tidak rela dan sedih secara mendalam. Tapi aku tidak menangis, tidak...

Sebuah surat kecil: Bahagiakah Kau Bersamaku

Foto: dokpri N ak, ibu ingin menulis surat terbuka untukmu. Ibu ingin mengenang kembali peristiwa yang sudah kita lewati. Semoga saat membaca surat ini, hatimu akan tersentuh, dan menjadi lebih dewasa dari sebelumnya. Nak, saat kau lahir, apakah kau tahu, ibu sudah menjadi IBU yang bahagia.  Kau adalah bayi cantik dan sangat sehat. Terlihat dari sinar di bola matamu. Bagai bintang kejora yang indah. Kau adalah anak pertama yang kumiliki. Dua adikmu  belum  lahir saat itu. Maka bukan waktuku saja yang melimpah untukmu, tapi hatiku. Kita punya banyak kenangan yang tak bisa kusebutkan semuanya di sini. Bagaimana kalau beberapa saja yaa, Nak. A pakah kau  ingat, dulu saat kau masih balita, sehabis mandi sore ibu mendandani dirimu. Kau cantik dan wangi. Lalu kita berjalan pelan ke mulut gang, berharap berpapasan dengan kedatangan Abahmu. Abahmu datang dengan sepedanya (sepeda sang bos yang dipinjamkan kepada Abahmu. Abahmu). Saat kita sudah menemukan Abahmu, kau akan d...

Rumahku di Pinggir Hutan

Foto: pribadi Kami  beruntung tinggal di area tanah yang luas. Sepintas suasananya seperti hutan memang. Ditemani pohon-pohon tinggi, tapi tak bisa dibilang besar. Di kejauhan nampak atap-atap rumah berjajar rapi khas perumahan. Di atas perbukitan pastinya. Lalu apakah kami merasakan kesan sunyi? Tentu saja iya.  Pagi hari burung-burung kecil pada ngoceh. Tapi tak berlangsung lama.  Sesekali juga terdengar suara tupai. Girang melompat mencari buah mangga yang baru dua biji. Maklum baru belajar berbuah, kata misua. Selain bentuk tubuh tupai yang lucu: badannya kecil dan ekornya mirip pembersih botol, ada hal nyebelin dalam diri si tupai. Setidaknya itu pengalaman misua yang gemes karena cempedak yang baru dua biji berbuah (loh...janjian ya dengan mangga) ludes pula dalam dua hari misinya. Tupai punya misi,   catat. Sebenarnya kami belum lama tinggal di sini. Tepatnya baru dua tahun. Dan pohon-pohon yang baru belajar berbuah tadi, adalah hasil tangan dingin bapak....

Indahnya Punya Tiga Anak Perempuan

Taman Balaikota Palu Punya tiga orang anak perempuan dalam rentang 9 tahun, rasanya sungguh luar biasa  Moms . Yang pasti seru dan bahagia.  Saya juga serasa diberi tantangan menghadapi keunikan dan hasrat mereka. Alhamdulillah  dengan berjalannya waktu, trik menghadapi anak-anak perempuan yang berbeda usia ini, dapat saya kuasai. Dan berikut ringkasannya: Awali dengan memberi pengertian Tentu setiap tindakan harus diawali dengan pola pikir.  Moms  bisa menerangkan hal mana yang baik, kurang baik, tidak baik, dan hal mana yang salah, beserta alasannya.  Gunakan bahasa yang mudah dipahami sesuai usia anak. Pekerjaan ini diibaratkan mengisi botol . Perlu takaran, kesabaran, bahkan berulang-ulang.   Tetapi lambat laun mereka akan mengerti. Beri waktu Hal apapun yang Moms  ajarkan kepada anak-anak, tidak akan secara express  diserap dan dilaksanakan oleh mereka. Bahkan setiap anak membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk "mencerna"nya. Ada yang...