SEBELAS tahun, bukanlah waktu yang sebentar untuk dijalani. Selama itu, seorang wanita, sebut saja bu Siti, bekerja tak kenal lelah untuk keluarganya. Mulai dari pekerjaan kecil, sampai akhirnya bu Siti dipercaya sang majikan untuk menghandle karyawan-karyawan lainnya.
Tak ayal, bukan hanya kenaikan gaji yang bu Siti dapat. Tetapi juga rasa hormat dari karyawan-karyawan lain.
Pukul empat saat hari masih gelap, bu Siti sudah bangun sholat Subuh. Dalam sekejap ia sudah memanaskan perapian demi menyiapkan keperluan makan anak-anak dan suaminya. Karena setelah membereskan rumah dan mencuci pakaian, bu Siti harus segera berangkat kerja.
Hari-harinya tak pernah tak sibuk. Di pedesaan yang tentram, bekerja dengan majikan kaya dan baik hati, bu Siti seakan ditenggelamkan waktu. Pundi-pundinya pun cepat terisi. Apa yang dia cita-citakan, seakan muncul di depan mata.
Bu Siti adalah wanita luar biasa. Cintanya kepada keluarganya, melebihi batas jam yang ada. Ia tak mengeluh, meski setiap pulang bekerja tubuhnya teramat lelah. Ia sanggup menahan semua ini. Toh nasib baik sedang menghampirinya. Kata orang, kesempatan tak datang dua kali.
SEBELAS tahun bu Siti menjadi wanita pekerja, membantu suami tercinta. Mereka memang pasangan serasi yang membuat iri orang-orang di kampung. Mereka selalu rukun dan bekerja sama. Ternak ayam dan bebek yang mereka miliki sekarang sudah bukan puluhan. Tetapi ratusan. Tak heran pak lurah dan pak camat mengakui bu Siti dan suaminya sebagai warga teladan. Karena prestasi ini pula, bu Siti semakin "istimewa" di mata sang majikan.
Ada segulir air mata jatuh begitu saja.
Kini bu Siti hanya bisa menangis. Di dalam kamarnya di antara dua balita mungilnya ia tak henti menyeka tangisnya. Saat suara tasbih, tahmid, dan tahlil tak henti berkumandang dari mesjid tak jauh dari rumahnya.
Besok adalah idul adha keenam ia dan suaminya di perantauan nun jauh di Kalimantan. Sudah selama itu pula ia tak bertemu orang tua dan saudara. Rindunya memukul-mukul tanpa ampun. Hatinya bukan saja sakit, tetapi juga hancur.
Bu Siti sebenarnya sangat rindu pada orang tua, sanak keluarga, dan kampung halaman. Dulu tak dikenalnya derita seperti ini. Dulu bu Siti adalah pahlawan bagi mereka. Dengan "sim salabim" apapun kebutuhan dan keinginan mereka, semua tak perlu menunggu waktu lama. Semua akan jadi kenyataan.
Dulu, ratusan warga di desanya selalu menunggu kedatangannya. Tepatnya sepanjang bulan ramadhan. Majikan di tempat bu Siti bekerja, memanglah terbilang kaya. Mempunyai banyak sawah, beberapa penggilingan beras, villa wisatawan, dan juga beberapa usaha lain. Yang istimewa adalah sifat dermawannya. Bu Siti pula yang dipercaya untuk membagi-bagikan berbagai bantuan langsung dari "tangannya". Mulai dari paket sembako lengkap, uang tunai, makanan berbuka puasa, sampai kudung sembahyang dan sarung.
Bu Siti sampai tak bisa berkata apa-apa, melihat orang-orang itu begitu senang dan bahagia menerima berbagai bantuan yang dibagikannya ke panti-panti jompo, yatim piatu, dan pesantren-pesantren. Di bulan ramadhan seperti itu, bu Siti memang sangat sibuk hingga baru bisa pulang ke rumahnya malam hari. Inilah resiko dipercaya majikan. Semua harus ia yang mengurus.
Tahun demi tahun berlangsung sama. Terkadang bu Siti merasa dalam dilema. Suami dan dua orang anaknya di rumah sebenarnya menginginkan kehadiran bu Siti di tengah-tengah mereka. Tentu akan sangat lain apabila mereka bisa berkumpul dan berbuka puasa bersama. Bu Siti juga sebenarnya sangat ingin berada di dapurnya sendiri setiap hari. Memasak makanan kesukaan suami dan anaknya, sekedar untuk berbuka puasa bersama di rumah.
Tapi apa boleh buat, bu Siti kepalang basah. Ia harus menyelesaikan tugas-tugasnya dari sang majikan yang sudah banyak membantu keluarganya.
Kini doa bu Siti terkabul.
Bu Siti tak perlu lagi mengimpikan bisa berkumpul bersama suami dan anak-anaknya di saat bulan ramadhan. Sekarang di rumah kontrakannya yang kecil, segalanya seakan sudah dibalik oleh yang mahakaya. Kalau dulu bu Siti hidup berkelebihan di rumahnya yang besar, tetapi rindu akan anak-anaknya, nyatanya sekarang semua terbalik. Segala jabatan di tempat kerja dan harta kekayaan telah diambil kembali oleh yang menitipkan, meski bu Siti dan suami harus menerimanya dengan derai-derai air mata.
Semua terjadi seperti datangnya badai.
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin berhembus. Agaknya pepatah ini tepat ditujukan pada segala pencapaian wanita tangguh seperti bu Siti.
Entah dari mana datangnya gumpalan hitam awan badai itu. Bu Siti dan suami pelan tapi pasti terjerumus dan masuk ke dalam lingkaran tak nyata. Berbagai suara nasihat dari orang tua dan saudara, seakan tak penting lagi. Keduanya dininabobokkan rayuan orang-orang jahat yang ingin memangsa dirinya. Hanya dalam sekejab semua lenyap tak bersisa, sebelum bu Siti sadar apa yang sudah menimpa dirinya.
Tangispun tak bisa diukur. Penyesalan tak menemukan jawabannya. Kini bu Siti bukan hanya kehilangan majikan yang meninggal di waktu yang sama saat ia "tertidur", tetapi hartanya yang dikumpulkan sekian lama kini habis tak bersisa!!!
Bu Siti dan suami bukan saja terguncang. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula. Keduanya tak cuma mendapat kesusahan, tapi juga mendapat pukulan mental dari orang tua dan saudara.
Astagfirullahaladziim...astagfirullahal adziim...
Kini dengan air mata berlinang-linang, bu Siti terus berusaha ikhlas dengan segala yang menimpanya. Sudah jauh malam, ia masih tergolek di sisi dua balitanya, anak kelima dan keenam. Matanya terasa sulit dipejamkan.
Seharian tadi bu Siti lelah berjibaku dengan satu hal yang dulu dijalani orang-orang di desanya saat hari idul adha begini. Dulu kedua tangannya sibuk membagikan bungkusan berisi daging qurban, kini bu Siti harus puas berada dalam antrian saja. Dan kalau bungkusan daging qurban itu belum diterimanya, ia tak kan bisa memasak dan menyajikannya untuk keluarganya yang dicintainya.
Bu Siti menyeka air matanya sekali lagi.
Ia masih dan masih belajar ikhlas menerima nasibnya yang jauh berubah sekarang ini. Ia sekarang tak mempunyai pekerjaan apa-apa. Dan menyedihkan baginya melihat anak-anak kurang asupan gizi selama beberapa lama ini. Bu Siti bukan lagi wanita tangguh dan pekerja yang mengumpulkan pundi-pundinya hanya dalam waktu singkat. Ia bukan pahlawan lagi. Bukan tangan kanan majikan kaya yang menyayanginya. Semua itu telah berlalu dan tersapu angin kehidupan.
Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?
Alangkah naifnya kita selalu merasa hidup susah, miskin, dan tak punya. Alangkah buruk sifat manusia yang tak menyadari bisa berkumpul dengan suami dan anak-anak juga adalah suatu nikmat.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan, wahai manusia?? (QS. Ar Rahman: 77-78)
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya. Silahkan berkomentar dengan sopan.