script type= "text/javasript">if Cerita: Menuju Dirgahayu Indonesia Langsung ke konten utama

Cerita: Menuju Dirgahayu Indonesia


Foto: suara.com
Hari ini cuaca cerah namun terasa sepi. Kalau kemarin matahari malu-malu menunjukkan kehangatan sinarnya, hari ini pagi-pagi langit sudah tampak terang. Sejurus kemudian cucian di tali jemuran ikut tertimpa sinar matahari. Alhamdulillah.

Namun selaksa sepi menguasaiku. 

Rasanya tak ada kicauan burung seperti hari biasanya. Tak ada suara jerit anak-anakku bermain. Sepagi ini mereka masih tidur. Tapi ralat deh...sudah jam delapan nol nol. Sudah saatnya bangun. Bukan pagi lagi, tapi menjelang siang. 

Aku malah sudah selesai masak nasi dan membuat dadar telur. 

Nasi hangat-hangat kuletakkan dalam kotak bekal, bersama dadar telur dan sambel di wadah lainnya. Menu sederhana. Terkadang saja berganti ikan dan sambel. Atau sesekali ada tambahan sedikit sayur. Hihi... Misua mbontot nih..

Aku ingat hari ini hari jumat. Dua anak perempuanku yang belajar online/sekolah daring, hari ini mendapat jadwal siang dua-duanya, sehabis sholat jumat. Biarlah mereka molor sedikit lagi, biar puas tidurnya. Tak lama lagi saat sekolah berjalan normal, anak-anak tak bisa santuy lagi. Tak bisa bermanja-manja dan molor bangunnya. Segala bentuk aturan dan disiplin pasti ditegakkan lagi. Hehe...

Di antara ibu-ibu paguyuban sekolah, tadinya aku termasuk yang ketat kalau soal peraturan dan disiplin. Tentang memakai seragam sekolah, mengisi pe-er, sampai tentang jajan di kantin. Apa saja yang boleh, dan apa yang tidak boleh mereka beli dari kantin.

Pada akhirnya, terlintas juga kalau aku ngga mau dibilang ibu killer oleh anak-anakku sendiri. Di rumah, aku ibarat jam beker bagi anak-anak. Mulai dari jam bangun pagi, jam makan, jam mandi, jam mematikan tv pada malam sebelum tidur, belum lagi jam rehat pegang hp. Duh duh...

Pernah sih, aku memberi tahu mereka mengapa seorang ibu lebih terkesan bawel tetapi seorang ayah tidak. Sedikit membela diri dari rasa takut dibenci anak-anakku sendiri. Di waktu yang lain ganti aku yang bertanya, mau ngga kalau diriku jadi ibu yang pendiam untuk mereka.

Haha...mereka langsung menggeleng juga.

Mendampingi anak-anak tumbuh dari hari ke hari, bisa diibaratkan menanam pohon dan menunggu pohon tersebut berbunga lalu berbuah. Setiap hari ditengok, disiram, dipupuk, diberi pagar biar ngga diceker ayam, sampai akhirnya bisa menjadi pohon yang kokoh dan berbuah banyak.

Rasa tak sabar pasti ada. Kepengen mereka cepat besar dan bermetamorfosa menjadi gadis cantik dan cerdas. Ingin mereka jadi anak sholeha. Ingin yang baik-baik menyertai mereka. Demikian doa seorang ibu di akhir sholatnya. Tak terasa basah juga mata ini.

Selain tak ingin menjadi ibu killer aku juga tak ingin membuat kepala mereka terasa "penuh" dengan berbagai pesan, nilai, dan aturan tentang hidup.

Jadi, suatu hari aku mampir ke rumah orang tua murid. Ibu cantik ini mempunyai dua anak laki-laki. Anak pertama sudah SMP dan anak kedua masih SD, sekelas dengan anak pertamaku. 

Tadinya aku hanya ingin memberi tahu cara "mengambil" nomor ponsel guru bahasa Inggris dari grup bidang study, karena si ibu perlu menghubungi guru tersebut.

Mengejutkan untuk ukuran ibu sepertiku, saat aku tahu apa yang mereka lakukan di rumahnya.

Si ibu sibuk mengobrol dengan tamunya di dapur, sedang kedua anaknya di kamar asyik main game online, pada jam belajar online. Huff...

Ternyata oh ternyata, ini juga yang membuat beberapa tugas sekolahnya abai. Chat dari guru tentang tayangan hasil belajar, termonitor oleh setiap anggota grup paguyuban dan grup bidang study. 

Tepok jidat aku jadinya.

Apakah karena tak ingin kepala anak terasa "penuh", seorang ibu perlu sering-sering berkata iya boleh... kepada anaknya?

Apakah mendisiplinkan anak mempunyai terlalu banyak resiko, sehingga seorang ibu perlu mengalah termasuk tidak belajar pada jam belajar, dan tidak mengirimkan tugas sementara 39 murid lainnya sudah mengirimkan tugas?

Anak-anak tidak bisa dipaksa untuk pintar Bu...tiap anak kemampuan otaknya tidak sama...

Demikian argumen si ibu. Di rumah kecil mereka aku hanya bisa tersenyum.

Aku merasa ngeri. 

Berapa usia Indonesia saat ini? Lalu ada berapa kasus pendidikan seperti ini? 

Menjelang HUT kemerdekaan negara ini, di masa pandemi sekarang ini, tunas-tunas negeri hanya seperti ini.

Ya Allah...tolong beri semangat dan kekuatan untuk kami bisa mengisi kemerdekaan, yang dulu dicapai dengan segala perjuangan, amin...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah surat kecil: Bahagiakah Kau Bersamaku

Foto: dokpri N ak, ibu ingin menulis surat terbuka untukmu. Ibu ingin mengenang kembali peristiwa yang sudah kita lewati. Semoga saat membaca surat ini, hatimu akan tersentuh, dan menjadi lebih dewasa dari sebelumnya. Nak, saat kau lahir, apakah kau tahu, ibu sudah menjadi IBU yang bahagia.  Kau adalah bayi cantik dan sangat sehat. Terlihat dari sinar di bola matamu. Bagai bintang kejora yang indah. Kau adalah anak pertama yang kumiliki. Dua adikmu  belum  lahir saat itu. Maka bukan waktuku saja yang melimpah untukmu, tapi hatiku. Kita punya banyak kenangan yang tak bisa kusebutkan semuanya di sini. Bagaimana kalau beberapa saja yaa, Nak. A pakah kau  ingat, dulu saat kau masih balita, sehabis mandi sore ibu mendandani dirimu. Kau cantik dan wangi. Lalu kita berjalan pelan ke mulut gang, berharap berpapasan dengan kedatangan Abahmu. Abahmu datang dengan sepedanya (sepeda sang bos yang dipinjamkan kepada Abahmu. Abahmu). Saat kita sudah menemukan Abahmu, kau akan dibawanya pulang sam

Asam-asam Peda (kuliner suku Banjar)

Ikan asin peda (foto: dokpri) Dari judulnya, aku sedang tertarik membahas satu masakan istimewa suku Banjar.  Aku sendiri bisa dibilang penikmat Asam-asam Peda.  Peda adalah nama jenis ikan asin yang banyak dijumpai di Banjarmasin dan Samarinda. Dua kota ini tak terlalu berdekatan jaraknya. Beda propinsi, malah. Tetapi banyak dari penduduk asli Banjarmasin dan sekitarnya yang merantau sampai ke kota Samarinda.  Samarinda sendiri mempunyai suku asli Kutai dan Dayak. Namun oleh beberapa faktor, kota ini sudah memikat orang-orang dari berbagai penjuru untuk datang dan menetap. Jadilah suku aslinya tak terlalu tampak. Alias kalah jumlah. Itu tadi sekilas tentang orang Banjar yang merantau sampai ke Samarinda. Nah, sudah kebiasaan perantau bila harus kangen masakan dari kampung halamannya. Terutama saat rindu pulang tapi tak pulang-pulang. Dari sekian banyak kuliner suku Banjar, yang mudah dieksekusi para "perindu" salah satunya adalah si ikan Peda. Ikan Peda adalah ikan asin yang

Ibu telah Berpulang

Foto: dokpri S eperti Anda yang tengah membaca tulisan ini, aku juga tidak akan lupa tanggalnya, kapan ibu berpulang .  Ibu telah melahirkan kita ke dunia. Dan sejak saat itu ibu selalu berjuang untuk kehidupan dan kebahagiaan anak-anaknya. Apalagi aku juga seorang ibu dari tiga anak perempuan. Aku seakan paham jasa-jasa ibu. Maka insya Allah aku tidak lupa memanjatkan doa untuk ibu. Sehabis sholat, maupun di waktu aku teringat dan terkenang akan ibu.  Aku tidak tahu, apakah ini arti kehilangan , atau kesedihan , atau bakti yang terakhir . Tapi begitulah. Aku sulit membuang bayang-bayang dan kenangan tentang ibu. Gambar-gambar ibu terbang menari-nari di pelupuk mata, melayangkan khayalan ke masa lalu. "Jangan terbawa jalan-jalan setan..." pesan adik laki-lakiku. Rasa kehilangan orang yang kita cintai, seringkali dianggap wajar, dan membuat kita larut. Menangis, meratap, meraung, semata-sema karena tidak rela dan sedih secara mendalam. Tapi aku tidak menangis, tidak

Indahnya Punya Tiga Anak Perempuan

Taman Balaikota Palu Punya tiga orang anak perempuan dalam rentang 9 tahun, rasanya sungguh luar biasa  Moms . Yang pasti seru dan bahagia.  Saya juga serasa diberi tantangan menghadapi keunikan dan hasrat mereka. Alhamdulillah  dengan berjalannya waktu, trik menghadapi anak-anak perempuan yang berbeda usia ini, dapat saya kuasai. Dan berikut ringkasannya: Awali dengan memberi pengertian Tentu setiap tindakan harus diawali dengan pola pikir.  Moms  bisa menerangkan hal mana yang baik, kurang baik, tidak baik, dan hal mana yang salah, beserta alasannya.  Gunakan bahasa yang mudah dipahami sesuai usia anak. Pekerjaan ini diibaratkan mengisi botol . Perlu takaran, kesabaran, bahkan berulang-ulang.   Tetapi lambat laun mereka akan mengerti. Beri waktu Hal apapun yang Moms  ajarkan kepada anak-anak, tidak akan secara express  diserap dan dilaksanakan oleh mereka. Bahkan setiap anak membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk "mencerna"nya. Ada yang cepat paham, dan ada yang membutu

Menikmati Pagi untuk Energi

Foto: Ayra Amirah Moms, sebagian kita sudah tahu benar apa manfaat bangun pagi. Bahkan sudah melakukannya. Tapi sebagian yang lain lagi, memilih "memanjangkan" jam tidurnya sampai menjelang siang.  Bangun pagi adalah awal kita beraktifitas. Ada yang ke sawah, ada yang ke sekolah, ada yang ke kantor, ataupun hanya ke pasar. Nah pertanyaannya, mengapa kita sibuk seperti itu ya, Moms ? Apakah kita sudah masuk dalam suatu lingkaran? Kita sibuk mengejar dunia, dan senang hidup penuh rencana, target, dan cita-cita. Lalu setelah sekian lama, berbulan, bertahun, bergelut seperti itu, apakah kita jadi jenuh? Bosan dan butuh liburan? Moms,   coba perhatikan. Justru ada sebagian orang lain lagi yang mempunyai waktu lebih fleksibel.  Mereka lebih "mungkin" menyapa alam. Menghayati jengkal demi jengkal. Sungguh yang Allah ciptakan itu tidak sia-sia. Lalu bagaimana cara menikmati alam yang Allah berikan untuk kita manusia?  Simpke kok Moms. Cukup melangkahkan kaki ke